Pendahuluan
Kejahatan dan kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari konteks
kondisi sosial budaya zamannya. Sebab setiap periode sifatnya khas, dan
memberikan jenis tantangan khusus kepada generasi mudanya, sehingga anak-anak
muda ini mereaksi dengan cara yang khas pula terhadap stimuli sosial yang ada.
Yang menjadi masalah rumit bagi anak-anak muda di Indonesia ialah
adaptasi terhadap situasi sosial politik baru, yaitu setelah mengalami kemelut
merebut kemerdekaan di daerah-daerah pegunungan dan pedesaan, kemudian mereka
harus pergi ke kota besar, di tengah masyarakat orang dewasa dan para pelopor
kemerdekaan.
Kenakalan remaja itu pada umumnya berupa penodongan di
sekolah-sekolah untuk mendapatkan ijazah, dan penonjolan diri yang berlebihan
yang menunjukkan bak seorang pahlawan kesiangan. Lebih serius dari kejadian
tersebut hamper tidak pernah terjadi. Hal ini disebabkan masih kuatnya
sanksi-sanksi masyarakat, ditambah tingginya citra perjuangan dan semangat
berkorban untuk mengisi kemerdekaan. Tidak banyak keberandalan dan kejahatan
yang dilakukan oleh orang-orang muda pada periode ini. Seandainya pun ada,
kejadian tersebut tidak akan menjadi masalah sosial yang sulit untuk
dipecahkan.
Mengenai kenakalan remaja yaitu keberandalan dan semacam tindak-tindak
kriminal ringan, yang menirukan pola tingkah laku anak-anak muda di luar
negeri, yang mereka dapat dan tirukan dari film impor dan jenis-jenis buku
bacaan yang berkategori sadistis dan bisa di bilang porno. Adapun sumber
kenakalan dan kejahatan para remaja adalah ketidakmampuan si anak untuk lebih
memanfaatkan waktu-waktu kosong dan kurangnya pengendalian pada para remaja
terhadap dorongan peniruan. Sayangnya yang mereka atau para remaja tiru malah
justru perbuatan atau perlakuan yang kurang baik dan sangat tidak terpuji,
misalnya suka hidup bermalas-malasan dan suka akan kebebasan seperti para hippies,
suka bersantai-santai dan hidup dalam kesenangan dan sering main perempuan, dan
melakukan tindak kriminal untuk lebih memuaskan diri dam ambisi sosial mereka
yang semakin meningkat.
Disamping itu juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma norma
susila yang dilakukan lewat praktek seks bebas, cinta bebas atau kumpul kebo,
permainan bagong lieur (babi mabuk, yaitu gadis remaja yang melacurkan diri dan
ikhlas tanpa imbahas uang sepeser pun), pereks (perempuan yang suka
bereksperimen), bondon (boneka Don Juan yang mudah di bawa), serta perkelahian
missal atau tawuran antar kelompok atau antar sekolah di kota-kota besar,
khusunya di kota Surabaya, Jakarta, dan Medan.
Isi
Perkelahian atau tawuran, kata-kata ini mungkin sudah tidak asing
lagi di telinga kita. Tawuran atau perkelahian massal ini biasanya dilakukan
dengan beramai-ramai atara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, hal
ini biasanya dilakukan dari lembaga sekolah yang berbeda dan biasanya juga
dilakukan dengan sering memakai cara kekerasan, saling memukul, bahkan dengan
menggunakan senjata tajam.
Secara psikologis, tawuran atau perkelahian yang melibatkan para
pelajar yang usianya sudah bisa dibilang remaja ini adalah sebagai salah satu
bentuk kenakalan mereka para remaja, tawuran atau perkelahian ini merupakan
perilaku yang negative. Permasalahan yang remeh pun dapat menimbulkan
pertengkaran individual yang berkelanjutan dengan perkelahian massal bahkan
tawuran atau perkelahian massal ini bisa membawa dendam yang berkepanjangan
bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya dan sering berlanjut pada tahun
berikutnya.
Anak remaja yang ikut-ikutan mengambil di dalam bagian aksi-aksi
perkelahian beramai-ramai antar geng maupun antar sekolah, yang acap kali
sering tidak sadar melakukan tindak kriminal dan anti sosila itu pada umumnya
adalah anak-anak normal yang berasal dari keluarga baik-baik. Hanya oleh satu
bentuk pengabaian psikis tertentu mereka kemudian melakukan mekanisme
kompensatoris guna untuk menuntuk perhatian yang lebih, khususnya untuk
mendapatkn pengakuan lebih terhadap egonyayang merasa tersisih atau terlupakan
dan tidak mendapatkan perhatian yang pantas dari orang tua sendiri maupun dar
masyarakat luas. Bisa juga perilaku mereka itu didorong oleh kompensasi
pembalasan terhadap perasaan-perasaan inferior, untuk kemudian ditebus dengan
bentuk tingkah laku yang lebih melambung dan merasa paling jago guna
mendapatkan pengakuan lebih terhadap Aku-nya. Jadi dalam hal ini ada dorongan
untuk mendapatkan pengakuan lebiih yang sangat kuat, guna meminta perhatian
yang lebih banyak dari dunia luar.
Tingkah laku kenakalan remaja itu pada dasarnya merupakan kegagalan
system control diri terhadap implus-implus yang lebih kuat dan dari dorongan
instinktif. Implus-impuls kuat, dorongan instinktifdan senttimen-sentimen hebat
itu kemudian disalurkan lewat perbuatan kejahatan, kekerasan, dan agresi keras,
yang di anggap mengandung nilai lebih oleh anak-anak remaja tadi. Karena itu
mereka perlu memamerkan energy dan semangat hidupnya dalam wujud aksi bersama
atau perkelahian massal.
Oleh perasaan yang senasib atau sepenanggungan, anak-anak remaja
yang kurang atau bahkan tidak mendapatkan kasih sayang dan perhtian yang cukup
dari luar, dan kemudian merasa tersisih dari masyarakat orang dewasa, sekarang
lebih merasa berarti berada di tengah-tengah gengnya. Di dalam geng itu anak
mencari segala sesuatu yang tidak mungkin mereka peroleh dari keluarga (orang
tua dan saudra saudaranya) maupun dari masyarakat di sekitarnya. Bahkan di
tengah keluarga sendiri mereka merasa tidak di hargai, tidak mendapatkan kasih
sayang dan posisi social yang mantap, serta tidak menemukan ideal dan tujuan
hidup yang jelas untuk melakukan aksi-aksi yang bersama. Hubungan dengan orang
tua dan saudara-saudaranya sendiri sangat logger, sehingga mereka merasa tidak
betah tinggal di rumah. Lagi pula di mata mereka masyarakat besar ini tampak
tidak bersahabat, bahkan cenderung menekan dan selalu melarang dan menghukum
mereka saja.
Dengan begitu anak-anak remaja yang merasa kesepian, marah,
binggung serta sengsara batinya itu sebab merasa selalu di hambat dan di
haling-halangi keinginannya untuk memainkan peranan social tertentu secara
spontan di antara mereka saling tarik menaring dan saling membutuhkan.
Anak-anak muda yang merasa senasib dan sepenanggungan karena ditolak oleh
masyarakat itu secara otomatis lalu menggerombol, mencari dukungan moril guna
memainkan peranan sosial yang berarti, dan melakukan perbuatan spektakuler
bersama-sama. Karena itulah maka gerombolan anak muda ini senang berkelahi,
atau melakukan perang antar kelompok supaya lebih nampak, dan untuk menonjolkan
egonya.
Perkelahian atau tawuran antar kelompok tersebut jelas akan
memperkuat kesadaran, yaitu kesadara menjadi anggota dari satu ingroup atau
satu rumpun keluarga baru dan mempertegu semangat kelompok. Kelompok ini
sekalipun tidak permanen sifatnya, akan tetapi jelas menampilkan pola-pola
tingkah laku khas, sebagai pencerminan dari satu dunia sosial anak remaja masa
kini yang nyata adai sekarang, yang memiliki sentiment-sentimen kelompok primer
yang amat kuat dan ambisi ambisi idiil serta materiil tertentu.
Dari kelompok tersebut kemudian keluar tekanan keras terhadap
setiap anggotanya untuk menegakkan kode kelompok dan melakukan aksi-aksi
penyapuan bersama. Ketidak patuhan dan penyimpangan tingkah laku akan di hukum
dengan keras. Bahkan perbuatan yang di anggap sebagai pengkhianatan bisa di
hukum sampai hukuman mati. Sebaliknya, rasa setiakawanan, solidaritas,
loyalitas dan kesediaan berkorban demi nama besar kelompok sendiri akan sangat
di hargai oleh setiap anggota kelompok, khususnya oleh pimpinan gerombolan
tertetu.
Kegemaran berkelahi secara massal di antara anak-anak lanjutan di
kota-kota besar, khususnya di Jakarta disebabkan dari dua faktor, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor internal berlangsung lewat proses internalisasi diri yang
keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi situasi disekitarnya dan semua
pengaruh dari luar. Tingkah laku mereka itu merupakan reaksi yang salah satu
kegagalan dari proses belajar. Dengan kata lain, anak-anak remaja itu melakukan
mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang melanggar bentuk agresi, dan
pelanggaran terhadap norma-norma social dan hukum formal, yang diwujudkan dalam
bentuk kejahatan, kekerasan, kebiasaan berkelahi massal dan sebagainnya.
Faktor eksternal juga berakibat dari alam sekitar, yaitu faktor
sosial atau faktor sosiologis yang
menjadi perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu
pada anak-anak remaja seperti tindak kekerasan, kejahatan, perkelahian massal
dan semacamnya.
Penutup
A.
Kesimpulan
Kenakalan
remaja dan perkelhin massal itu merupakan refleksi dari perbuatan orang dewasa
di segala sektor yang dipenuhi dengan nafsu kekuasaan, kekejaman, kemunafikan,
dan lain-lain.
Merupakan
proses peniruan anak remaja terhadap segala gerak-gerik dan tingkah laku orang
dewasa modern sekarang ini.
B.
Saran
Untuk
mengurangi atau menghilangkan sifat remaja yang tidak baik ini menurut saya,
lakukan koreksi terhadap semua kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik. Dan
sebaiknya, perbanyaklah kearifan, kebaikan dan keadilan, agar bisa menjadi
panutan bagi para remaja, demi generasi penerus bangsa kita. Selanjutnya
memberikan kegiatan dan pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak muda zaman
sekarang, mengembangkan bakat dan potensi anak-anak muda.